::: CINTA LAKI-LAKI BIASA :::
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa
dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari- hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan
Mama, kakak- kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya. tiga
bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya.
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya. "Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya
tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!" Nania
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda
baik.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. "Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa,
dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Sayangnya Nania lagi-lagi
gagal membuka mulut dan membela Rafli. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Mereka
akhirnya menikah.
Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering
menanyakan hal itu, masih sering berbisik- bisik di belakang Nania, apa
sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Hal-hal sederhana yang membuat
perempuan itu sangat bahagia. Ketika lima tahun pernikahan berlalu,
ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua
orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Menginjak tahun
ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan
Nania memiliki suami terbaik di dunia. Tahun kesepuluh pernikahan,
hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar.
Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau
membuat Nania menangis.
Nania mengandung yang ketiga. Bayi yang
dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan
Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan
menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang
teramat sangat. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, Nania tak
menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. pembukaan berjalan lambat
sekali. Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika
pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia
sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset. Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa
menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa
ditelannya. Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli
tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia
tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring
ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia
tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu.
Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya
ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga
anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Lelaki itu
sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit,
kecuali untuk melihat anak-anak di rumah.
Syukurnya pihak
perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh.
Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Rafli
percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah
sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan.
Pada hari ketigapuluh tujuh
doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang
pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis,
menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan
syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar,
semua tak penting lagi.Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania
selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu
mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang
kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke
teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani
Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan
cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa
merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang
terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya
pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di
dunia. Setidaknya di mata Rafli. Awalnya tentu Nania sempat merasa
risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang
menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi
roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya
yang ber keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan
teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga
mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. "Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!" "Nania beruntung!"
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan
segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.
( Asma Nadia )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar